Skip to main content

Adzan untuk Bayi

Apakah Mengadzankan Bayi Bid'ah dan Tidak Ada Dasarnya?

Fri, 12 September 2014 11:00 - 46095 | shalat

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, 

Ustadz,  bagaimana sebenarnya hukum mengumandangkan adzan dan iqamah bagi bayi yang baru lahir? Benarkah tidak ada dasar tuntunannya yang sahih? Dan apakah kita boleh belajar agama Islam lewat mesin pencari Google?
Demikian, terima kasih atas pencerahannya
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh


Adzan untuk bayi, source: google.com

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, ada sebagian yang memandangnya mustahab dan sunnah, dimana sebenarnya cukup banyak ulama yang berpendapat sunnahnya adzan di telinga bayi. Karena urusan shahih tidaknya hadits adalah masalah yang masih diperdebatkan di antara para ahli hadits sendiri.

Namun tidak bisa dipungkiri ada juga tidak mau mengadzani bayi yang baru lahir, dengan beberapa alasan. Yang paling masuk akal karena dianggapnya tidak ada hadits shahih bisa dijadikan dasar. Sekilas pandangan ini bisa diterima, walaupun kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya pendapat ini masih kurang lengkap dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Setidaknya para ulama masih berbeda pendapat atas hukumnya.

Selain itu juga ada alasan yang tidak bisa diterima syariah, yaitu pandangan yang sampai kepada vonis bahwa mengadzani bayi itu haram dan bid'ah, dengan alasan bahwa adzan itu hanya untuk memanggil orang shalat.

Kenapa pandangan yang seperti itu tidak bisa diterima syariah?

Karena ternyata sebagian ulama, khususnya para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan dalam konteks di luar shalat.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya. Dan salah satunya adalah untuk mengadzan bayi yang baru lahir. [1]

Bukankah Hadits Adzan Bayi Itu Tidak Shahih?

Kalau kita belajar syariat Islam lewat kaidah yang benar, khususnya lewat ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih, sekedar ada klaim bahwa sebuah hadits itu tidak shahih, sebenarnya tidak cukup untuk menarik kesimpulan bahwa sebuah perbuatan itu bid'ah. Mengapa?
Banyak orang kurang mengerti bahwa shahih tidaknya suatu hadits itu sendiri cuma hasil 'rekayasa' manusia biasa. Keshahihan suatu hadits itu bukan wahyu, sama sekali bukan datang dari Nabi Muhammad SAW. Beliau SAW tidak pernah menetapkan suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Malaikat Jibril pun tidak memberikan informasi tentang shahih tidaknya suatu hadits.
Lalu kalau bukan dari Nabi SAW, siapa yang boleh dan berhak menentukan keshahihan suatu hadits?
Jawabnya adalah para ahli hadits, yang dalam hal ini sering disebut sebagai muhaddits. Mereka adalah manusia biasa yang ketika memfatwakan suatu hadits, sama sekali tidak menggunakan wahyu melainkan semata-mata menggunakan akal. Jadi shahih tidaknya suatu hadits semata-mata merupakan hasil ijtihad akal semata.
Dan salah satu buktinya ternyata keshahihan suatu hadits agak jarang disepakati oleh para muhaddits. Yang paling sering terjadi adalah suatu hadits dishahihkan oleh satu muhaddits, sementara ada sekian muhaddits lain tidak menshahihkan. Begitu juga sebaliknya, satu hadits dianggap dhaif oleh satu muhaddits, sementara di tempat lain ada puluhan muhaddits menshahihkannya.
Maka sebagai orang awam yang baru berkenalan dengan agama Islam, wajib hukumnya mengetahui dasar-dasar ilmu hadits, agar jangan sampai malah jadi penyesat umat Islam dengan pemahaman yang dangkal dan menampakkan kekosongan ilmu agama.

Ulama Syariah Sangat Mengerti Hadits
Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadits yang paling tinggi derajat keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim. melainkan para ulama empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Kenapa mereka lebih tinggi derajat keilmuannya dari Bukhari dan Muslim?
Jawabnya karena ilmu yang mereka milik bukan sebatas mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh dari itu, mereka juga menyusun kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa diterapkan untuk satu kasus dan kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya bukan semata keshahihan, tetapi ada lusinan pertimbangan lainnya.

Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa.

Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi
Setidaknya ada tiga hadits yang menjadi dasar masyru'iyah dalam melantunkan adzan untuk bayi yang baru lahir.

1. Hadits Pertama
ุฑَูˆَู‰ ุฃَุจُูˆ ุฑَุงูِุนٍ : ุฑَุฃَูŠْุชُ ุงู„ู†َّุจِูŠَّ  ุฃَุฐَّู†َ ูِูŠ ุฃُุฐُู†ِ ุงู„ْุญَุณَู†ِ ุญِูŠู†َ ูˆَู„َุฏَุชْู‡ُ ูَุงุทِู…َุฉُ
Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim)
Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga.
Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab[1].

2. Hadits Kedua
ู…َู†ْ ูˆُู„ِุฏَ ู„َู‡ُ ู…َูˆْู„ُูˆุฏٌ ูَุฃَุฐَّู†َ ูِูŠ ุฃُุฐُู†ِู‡ِ ุงู„ْูŠُู…ْู†َู‰ ูˆَุฃَู‚َุงู…َ ูِูŠ ุงู„ْูŠُุณْุฑَู‰ ู„َู…ْ ุชَุถُุฑَّู‡ُ ุฃُู…ُّ ุงู„ุตِّุจْูŠَุงู†ِ
Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan. (HR. Abu Ya’la Al-Mushili)
Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil.
Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.
Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja.
Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah[2] maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil. [3]
Dan hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.

3. Hadits Ketiga
ุนَู†ِ ุงุจْู†ِ ุนَุจุงَّุณٍ  ุฃَู†َّ ุงู„ู†َّุจِูŠَّ  ุฃَุฐَّู†َ ููŠِ ุฃُุฐُู†ِ ุงู„ุญَุณَู†ِ ุจْู†ِ ุนَู„ِูŠٍّ ูŠَูˆْู…َ ูˆُู„ِุฏَ ูˆَุฃَู‚َุงู…َ ููŠِ ุฃُุฐُู†ِู‡ِ ุงู„ูŠُุณْุฑَู‰
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melantunkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan, dan melantunkan iqamah di telinga kirinya. (HR. Al-Baihaqi)
Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar hukum atau tidak.

Pendapat Yang Mendukung Adzan di Telinga Bayi
1. Ulama Mazhab Empat

Umumnya para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.
Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tanpa menekankannya.
Namun mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara resmi dan mengatakan bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga.[7]

2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz
Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa Umar bin Abdul Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengadzaninya pada telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri.[4]

3. Pendapat Ibnu Qudamah
Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal, Al-Mughni.
ู‚ุงู„ ุจุนุถ ุฃู‡ู„ ุงู„ุนู„ู…: ูŠุณุชุญุจ ู„ู„ูˆุงู„ุฏ ‏ุฃู† ูŠุคุฐู† ููŠ ุฃุฐู† ุงุจู†ู‡ ุญูŠู† ูŠูˆู„ุฏ
Sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan[5]

4. Pendapat Ibnul Qayyim
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan dalam kitabnya, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, bahwa adzan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang masuk Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat syahadat.[6]

5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga kiri, beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :
ู‡ุฐุง ู…ุดุฑูˆุน ุนู†ุฏ ุฌู…ุน ู…ู† ุฃู‡ู„ ุงู„ุนู„ู… ูˆู‚ุฏ ูˆุฑุฏ ููŠู‡ ุจุนุถ ุงู„ุฃุญุงุฏูŠุซ ูˆููŠ ุณู†ุฏู‡ุง ู…ู‚ุงู„ ูุฅุฐุง ูุนู„ู‡ ุงู„ู…ุคู…ู† ุญุณู† ู„ุฃู†ู‡ ู…ู† ุจุงุจ ุงู„ุณู†ู† ูˆู…ู† ุจุงุจ ุงู„ุชุทูˆุนุงุช
Ini perbuatan masyru' (disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang mukmin melakukannya maka hal itu baik, karena merupakan bagian dari pintu sunnah dan pintu tathawwu'at[8]
Pendapat Yang Tidak Membolehkan
Umumnya semua pendapat yang tidak membenarkan adzan di telinga bayi kalau kita runut kembali kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani, sebagaimana yang tertunang dalam kitab Silsilah dan Irwa' di atas.

Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya agak sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis buku.

Kebetulan pula oleh para murid dan pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat Al-Albani terasa lebih dominan.

Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet Google
Di luar masalah perbedaan pendapat antara yang mendukung adzan dan tidak mendukung, ada satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu hati-hati belajar agama Islam lewat internet atau Google.

Internet itu teknologi buatan manusia, fungsinya memang luar biasa karena bisa menyatukan begitu banyak manusia di dunia ini lewat alam maya. Dan Google sendiri adalah sebuah 'keajaiban' di dalam dunia modern ini. Karena apapun yang tertuang di internet, Google bisa mencarinya. Termasuk salah satunya informasi tentang agama Islam. Banyak orang bisa memanfaatkan mesin pencari yang satu ini untuk mendapat ilmu agama.

Tetapi harus pula disadari bahwa Google itu bukan ahli fiqih dan bukan ahli hadits. Google cuma robot yang bisa mencari data di jagat alam maya, tanpa bisa memilah mana data sampah dan mana data yang valid.

Kalau ada sejuta orang menulis di internet bahwa babi itu halal, dan cuma ada sepuluh orang menulis bahwa babi itu haram, maka berdasarkan mesin pencari Google, hukum babi itu jadi halal. Kenapa ? Karena hasilnya lebih banyak yang bilang halal dari pada yang bilang haram.

Google tidak bisa membedakan mana tulisan para ulama yang ahli di bidang ilmu syariah, dan mana tulisan orang yang awam dengan agama. Dalam beberapa sisi, 'demokrasi' ala Google ini agak menyesatkan juga. Maka kita tidak boleh menyerahkan agama kita secara pasrah bongkokan kepada Mbah Google.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA 

[1] Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348
[2] Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha'ifah, jilid 1 hal. 320
[3] Al-Albani, Irwa' Al-Ghalil, jilid 4 hal. 401
[4] Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336
[5] Ibnu Qudamah, jilid 11 hal, 120
[6] Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal. 22.
[7] Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133
[8] http://www.binbaz.org.sa/mat/9646
Rumah
Fiqih
Indonesia

Comments

Popular posts from this blog

Sholawat Wasiat KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan

Allahumma sholli wa salim ‘alaa Sayyidina wa maulanaa muhammadin ‘adada maa fi ‘ilmillahi sholatan Da’imatan bida wa min mulkillahi Wasiate Kyai Umar maring kita Mumpung sela ana dunya dha mempengo Mempeng ngaji ilmu nafi’ sangu mati Aja isin aja rikuh kudu ngaji KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan Surakarta Dha ngajiha marang sedulur kang ngerti Aja isin najan gurune mung bayi Yen wus hasil entuk ilmu lakonono Najan sithik nggonmu amal dilanggengno Aja ngasi gegojegan dedolanan Rina wengi kabeh iku manut syetan Ora kena kanda kasep sebab tuwa Selagine durung pecat sangka nyawa Ayo konco padha guyub lan rukunan Aja ngasi pisah congkrah lan neng-nengan Guyub rukun iku marakake ruso Pisah congkrah lan neng-nengan iku dosa Ing sahrene dawuh rukun iku nyata Ayo enggal dha nglakoni aja gela Aja rikuh aja isin aja wedi Kudu enggal dilakoni selak mati Mula ayo bebarengan sekolaho Mesti pinter dadi bocah kang utama Budhi pek

Hukum memasang Kijing pada Makam

Hukum memasang Kijing pada Makam Tidak sedikit kita mengaku sebagai warga NU, tetapi terkadang keputusan hasil bahtsul masail kurang bergitu faham atau bahkan tidak pernah baca, padahal semua sebenarnya sudah ada, misalnya tentang bagaimana hukum memasang Kijing pada Makam Tampak makam KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) di kompleks pemakaman keluarga pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Jumat (27/12). TEMPO/Ishomuddin Deskripsi Masalah Masyarakat Jawa sering melakukan "nyandi makam (memasang kijing)  setelah seribu  hari  dari wafat seseorang dan itu terjadi di makam umum. Pertanyaan Bagaimana hukumnya "nyandi makam"  termasuk makam para Wali? Jawaban "Nyandi makam" atau membuat bangunan di atas kubur atau di atasnya tanpa tujuan syar'i seperti dicuri, digali binatang buas atau terkena banjir, maka hukumnya makruh jika tanahnya milik sendiri. Tetapi jika di tanah milik umum, maka hukumnya haram. Sedangkan "nyandi makam&q